Sabtu, 10 Februari 2018

Bermusuhan Dengan Terbiasa Nyaman

I wonder, what if our fortress of comforts is shattered by circumstances?

Suatu hari ada sebuah tayangan yang menampilkan fase akhir dari sebuah lomba lari marathon. Saat itu hanya ada pelari tunggal yang hampir dipastikan akan memenangkan lomba itu. Dengan bangganya sang pelari menurunkan kecepatan larinya dan mengeluarkan ekspresi kepuasan akan kemenangan yang segera diraih. Selang beberapa detik muncul rival sang pelari diurutan kedua memacu kecepatannya untuk menyusul, Sang calon pemenang yang sedang lengah pun terkejut. Dan dalam foto garis finish terbukti bahwa sang pelari kedua berhasil memenangkan lomba lari marathon dengan jarak beberapa cm saja. 

Pada dasarnya seluruh keadaan rutin yang favorable to us, mungkin membuat kita nyaman bahkan terlalu nyaman didalam hidup ini. Layaknya sang pelari yang hendak memenangkan posisi pertama dalam cerita tersebut, Seakan the glory and fame is already become his and yet he hadn't reach the finish line. Lama kelamaan kenyamanan itu menyusup kedalam habit, pada fase akhirnya kita menjadi manusia yang mengandalkan sebuah indikator spesifik untuk memfilter kualitas mana sajakah yang favorable to us. aka. egois.

Sampai suatu hari distorsi terjadi dan merobek seluruh skenario nyaman yang imaji nya telah nyata terjadi dalam gaya hidup. Dalam kurun waktu itu semua terdegradasi, tidak ada lagi keadaan yang bisa diandalkan. Tidak ada lagi privilege untuk memilih hal-hal yang nyaman saja. Akankah disaat itu kita mampu untuk bertahan? banyak contoh dari pengalaman orang lain yang jelas menggambarkan betapa menderitanya saat mereka direnggut kenyamanannya. Mungkin saya dan anda tidak lebih baik dalam meresponi kenyataan itu.

Kita seharusnya sadar betul kalau keadaan datang setali dengan ketidak pastian. So jangan pernah mengandalkan keadaan yang nyaman. Kita harus peka untuk mengenali tanda-tanda hari dan mengendorkan keterikatan terhadap keadaan nyaman yang telah kita nikmati. Unfortunately, things we consider harmless possibly hurts you some other day. Mungkin bukan dengan cara konfrontir, but simply vanish into thin air. Will you be ready when the time comes?


Sabtu, 13 Januari 2018

Hedonisme Positif

Hedonisme, saya jamin ada gambaran spesifik dalam pikiran anda ketika mendengar satu kata tersebut. Kehidupan mewah yang menghambur-hamburkan kekayaan yang terkadang untuk sebagian dari kita terlihat tidak ada gunanya. Saya pernah menyaksikan sebuah tayangan video di YouTube bagaimana 'Spoiled rich kids' wasting money by destroying expensive things that they bought with their parents' money or simply menjadi saksi bagaimana teman-teman lo bisa ngomong "I don't care about money, as long it is for what I want and what I need" atau "gua kerja cape, ya duitnya buat seneng-seneng dong"

So how can I say that hedonism is positive thing?

Hedonisme pada dasarnya itu pola hidup untuk menjadikan kesenangan dalam hidup sebagai tujuan utama. Namun seringkali dikaitkan dengan pola hidup yang menghamburkan harta, sebagai akibat dari bukti nyata tindakan-tindakan yang kita lihat dari orang-orang sekitar kita. Termasuk juga upaya dikubu lain yang memberi label orang-orang tersebut sebagai 'hedonis'.

Lucunya, dari kecil kita sudah diajarkan untuk mengejar kebahagiaan dalam hidup PADAHAL kita belum mengerti apa itu kebahagiaan dan akhirnya salah kaprah malah mengejar kesenangan. Otomatis respon kita akan negatif terhadap tindakan-tindakan tersebut. Mari berpikir pada level etis. jika kita mengartikan tindakan menghamburkan harta sebagai hedonisme dengan 1 pertanyaan sederhana :

Apakah perbedaan dari seseorang menghamburkan uang, misalkan, untuk membeli 20 tas mewah dengan seseorang menghamburkan uang untuk sesuatu yang baik dengan nilai setara, misalkan, membiayai anak tidak mampu untuk bisa bersekolah?

"Jelas beda, satu demi kebaikan orang lain dan satunya semata untuk kepuasan diri", ini jawaban pada umumnya yang gue imajinasikan bakal gue dengar dari kalian. Wait. both of them spent same amount of money for happiness so why did you discriminate?

Jawabannya adalah pada level etika. Hedonisme yang berpusat bagi diri sendiri adalah Hedonisme egoistis tapi hedonisme yang berpusat bagi orang lain adalah hedonisme universal (Epihurus dalam Russell (2004: 372). Lo harus menanggapi hedonisme itu sebagai sikap hidup yang introspektif untuk kesenangan diri dan orang lain TANPA merugikan pihak manapun.

So no need to afraid kalo lo kebanyakan belanja bakal di judge sebagai hedon. Money are there to be spent, ga perlu dibawa ke peti mati. but keep in mind :

1. DO NOT HARM anyone dengan apa yang lo spent. termasuk, jangan sampe tindakan lo malah jadi batu sandungan karena keliatan "boros" "useless" apalagi dijaman now, apa-apa di post sama orang especially kalo lagi mau pamer. You HAVE to be thankful with what you got dengan ga ngerugiin orang saat lo mau pake harta lo.

2. Ga semua hak lo itu 100% punya lo. Hey, milennial yang katanya mau punya impact for others, duit lo jangan buat beli makeup, internet service, makanan fancy, supreme melulu. Bayar yang jadi tanggung jawab lo, apakah itu kewajiban agama atau sumbangan sosial.

Karena ketika lo mempraktekan kedua poin itu, lo bukan hedonis lagi yang mengejar kesenangan tapi more than that you are craving for happiness, Kebahagian yang sejati.