Rabu, 03 Juli 2013

manusia setengah bunglon


Kaki-kaki itu mampu berdiri dengan kekuatan singkong rebus saja dalam balutan sendal jepit karet usang yang sudah aus alasnya. Dengan peluh yang begitu derasnya mereka tetap rela terjemur dibawah keadaan. antrian panjang itu memanjang sampai lewat batas halaman. satu persatu nama dipanggil, kartu identitas diserahkan, keperluan administrasi diurus kemudian selesai sudah. Dengan wajah tersenyum satu persatu pergi dari tempat itu. 

Kepergian seseorang biasanya ditanggapi dengan bunyi seretan karet yang bergesek dengan debu tanah tetapi tidak kali ini. Bunyi gesekan itu masih ada tetapi diiringi dengan bunyi gemerincing yang berirama tepat setelahnya. Rupanya di pergelangan kakinya teruntai sebuah jalinan rantai emas dengan beberapa liontin-liontin kecil yang tampak memoles keindahan kaki tersebut. katanya ia mau mengambil haknya.

Sungguh mengherankan keadaan seperti ini. Biasanya bahkan tidak mau disebut sebagai orang miskin, apalagi untuk menjadi orang miskin. Tapi bagi orang-orang tertentu mereka sungguh belajar dari bunglon yang berubah warna sesuai dengan tempat dimana ia berpijak. Ketika menjadi miskin menguntungkan maka dengan tidak malu-malu mereka mengantri bersama dengan sesama kaum oportunis dan kaum miskin untuk mengambil apa yang diberikan sebagai hak tetapi menjadi memalukan dicermin introspeksi. 

Jalur panjang ini bukan catwalk peragaan busana milan atau paris, jalur ini tidak dilapisi karpet halus yang bergaya, juga tidak diterangi dengan tata lampu yang gemerlap. Jalur ini ada untuk ditempati orang-orang yang mengadukan nasib perutnya karena keadaan. Seharusnya hanya mereka yang benar-benar berhak yang layak berdiri ditempat ini tanpa rasa malu.

Orang-orang ini yang menjadi miskin saat miskin menguntungkan adalah orang-orang yang tidak tahu malu. Ada orang-orang yang miskin namun menolak, sedangkan mereka sukarela menjadi miskin sementara demi kesempatan menadahkan tangan dibawah. Ternyata kemiskinan adalah bukan soal apa yang dipunya dan apa yang tidak dipunya dirumah, tetapi kemiskinan adalah saat manusia menjadi miskin dalam akhlak dan budinya.

Jumat, 15 Maret 2013

mereka (1)


Ada kalanya yang terdepan menjadi yang terbelakang dan yang terpintar menjadi yang terbodoh

mereka yang mampu menjawab teka-teki terumit 

namun tidak bisa menerka ada berapa butir telur di piring mereka

mereka bukan tidak berpengetahuan 

hanya saja mereka tidak mengerti tentang hal-hal yang tidak mampu terekam didalamnya

bahwa ada setiap alasan dibalik setitik embun di daun dan ada tujuan disetiap atom di alam semesta

mereka pikir apa yang mereka miliki mampu memanipulasi kehidupan atau membohongi hati nurani

kemudian menilai segala sesuatu dengan egois, mutlak dan congkak

Jangan menjadi seperti mereka

jangan sampai aku menemukan kamu menebar dagelan konyol seperti apa yang mereka lakukan

sebab nihil kata-kata mereka namun pandai menuai amarahmu